Beranda | Artikel
Potret Sosial, Ekonomi, dan Akhlak Masyarakat Arab Sebelum Islam
14 jam lalu

Bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah ﷺ memiliki kondisi sosial yang khas dan kompleks. Memahami situasi masyarakat pra-Islam sangat penting agar kita mengetahui bagaimana Islam hadir dan membawa perubahan besar di tengah kehidupan mereka. Dalam artikel ini, akan dibahas kondisi sosial, ekonomi, dan akhlak bangsa Arab sebelum datangnya risalah Islam, sebagai latar penting dalam memahami konteks dakwah kenabian.

Kondisi sosial masyarakat Arab pra-Islam

Masyarakat Arab jahiliah terbagi ke dalam beberapa lapisan sosial. Di kalangan bangsawan, hubungan suami istri cukup maju. Wanita memiliki kebebasan berpendapat, dihormati, dan turut berperan dalam perdamaian maupun peperangan. Meski demikian, tetap saja laki-laki adalah kepala rumah tangga. Pernikahan dilakukan secara resmi dengan persetujuan wali, tanpa hak bagi wanita untuk melangkahi mereka.

Namun, di lapisan masyarakat lainnya, interaksi antara pria dan wanita berlangsung dalam bentuk yang hanya bisa digambarkan sebagai perzinaan.

Aisyah radhiyallahu ‘anha [1] menceritakan empat macam pernikahan yang ada di masa jahiliah:

1) Pernikahan normal: pria datang kepada wali, memberi mahar, lalu menikahi wanita.

2) Nikah istibdhā’: suami meminta istrinya berhubungan dengan pria lain agar hamil, baru setelah itu suami bisa menggaulinya.

3) Nikah kelompok: beberapa pria menggauli seorang wanita. Saat wanita hamil, ia menunjuk salah satu dari mereka sebagai bapak anaknya setelah kelahirannya.

4) Nikah pelacuran: banyak pria menggauli seorang wanita yang memasang tanda di depan pintu rumahnya. Jika ia hamil lalu melahirkan, seorang ahli nasab menentukan siapa bapaknya.

Islam menghapus semua pernikahan ini, kecuali pernikahan yang sah secara syariat.

Selain itu, poligami tidak dibatasi dan pria bebas menikahi dua saudari atau istri bapaknya ketika sang bapak menalaknya atau meninggal dunia. Talak di masa itu juga tanpa batas. Perzinaan merajalela di semua kalangan. Hanya sedikit orang yang menjaga kehormatannya dari kehinaan tersebut.

Hubungan bapak dengan anaknya bermacam-macam. Di antaranya ada yang menganggap anak-anaknya adalah bagian dari dirinya. Ada juga yang membunuh anak-anak perempuannya lantaran takut malu dan beban biaya hidup. Ada pula yang membunuh anak-anaknya lantaran takut jatuh miskin dan kesusahan. Namun peristiwa ini bukan termasuk perilaku yang tersebar di masyarakat, karena mereka juga membutuhkan anak-anak lelaki sebagai pelindung dari musuh.

Hubungan seseorang dengan saudara, anak-anak paman, dan kerabatnya sangat kokoh. Mereka hidup dan mati demi fanatisme kabilah. Semangat kebersamaan sangat dominan dalam satu kabilah yang diperkuat oleh fanatisme ini. Dasar dari sistem sosial mereka adalah fanatisme darah dan hubungan rahim.

Hubungan antar kabilah yang berbeda sangatlah renggang. Kekuatan mereka saling melemahkan dalam peperangan. Dalam beberapa kondisi, persekutuan dan perjanjian bisa menyebabkan terbentuknya aliansi antara kabilah-kabilah yang berbeda. Bulan-bulan haram (bulan yang dimuliakan) juga menjadi rahmat bagi mereka untuk melanjutkan kehidupan dan mencari penghidupan.

Kondisi ekonomi masyarakat Arab pra-Islam

Mata pencaharian terbesar bangsa Arab adalah berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, perjalanan dagang hanya bisa dilakukan dengan lancar ketika keamanan dan perdamaian terjamin. Hal itu hanya terjadi di bulan-bulan haram. Bulan-bulan tersebut menjadi waktu penyelenggaraan pasar-pasar besar seperti ‘Ukāzh (عكاظ), Dzul Majāz (ذو المجاز), dan Majannah (مجنة).

Adapun pekerjaan industri, sangat jauh dari bangsa Arab. Mayoritas industri yang ada di jazirah adalah penenunan dan penyamakan yang berada di Yaman, Hirah, dan perbatasan Syam. Memang ada di dalam jazirah pekerjaan berupa bertani, beternak, dan menenun benang. Hanya saja, barang-barang hasil industri ini sering kali menjadi sasaran dalam peperangan.

Kondisi akhlak penduduk Jahiliah

Di tengah banyaknya tindakan amoral penduduk jahiliah, tidak dimungkiri bahwa mereka memiliki akhlak yang terpuji yang membuat manusia takjub.

Di antaranya adalah kedermawanan. Penduduk Arab berlomba-lomba dan merasa bangga dengan akhlak ini. Dikisahkan ada seseorang yang kedatangan tamu pada hari yang sangat dingin dan kelaparan, ia tidak memiliki harta kecuali unta yang digunakan untuk mencari penghidupan. Ia pun menyembelih unta tersebut lantaran tergerak oleh semangat kedermawanan demi menjamu tamunya.

Salah satu dampak semangat kedermawanan ini adalah munculnya pujian terhadap orang yang meminum khamar. Bukan karena bangga dengan khamar, tetapi karena khamar dianggap sebagai salah satu sarana untuk meraih kedermawanan dan melunakkan jiwa. Karena itulah, mereka menamai pohon anggur dengan karm (الكرم) yang mirip dengan kata dermawan dalam bahasa Arab.

Dampak kedermawanan juga berimbas pada perjudian. Perjudian mereka anggap salah satu sarana mendapatkan kedermawanan. Hal ini karena mereka menganggap perjudian sebagai sarana untuk bersedekah, mereka akan memberikan hasil kemenangan judi tersebut kepada orang miskin. Oleh karena itu, di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa khamar dan perjudian itu memiliki manfaat, tetapi mudaratnya lebih besar dari manfaatnya. [2]

Di antara akhlak mulia mereka adalah menepati janji. Janji bagi mereka adalah sesuatu yang sakral dan mereka pegang teguh sampai mereka rela mengorbankan nyawa anak-anak mereka dan menghancurkan rumah mereka, demi menunaikannya.

Di antara akhlak terpuji mereka adalah harga diri dan menolak kehinaan serta penindasan. Dampaknya, muncullah keberanian berlebih, kecemburuan yang kuat, dan kepekaan yang tinggi. Ketika mereka mendengar satu kata yang mengandung kehinaan, mereka tidak akan tinggal diam, tetapi langsung mengangkat pedang dan tombak, lalu memantik peperangan hebat. Mereka tidak peduli untuk mengorbankan nyawa mereka demi menjaga kehormatan.

Di antara akhlak baik mereka adalah keteguhan tekad. Apabila mereka telah bertekad terhadap sesuatu yang mereka pandang sebagai kemuliaan dan kebanggaan, maka mereka tidak akan berpaling darinya meskipun ada penghalang. Mereka siap mempertaruhkan jiwa mereka untuk mendapatkannya.

Di antara akhlak mulia mereka adalah murah hati, sabar, dan tenang. Mereka memuji sikap ini meski kenyataannya sikap ini cukup langka di tengah mereka. Hal ini karena kuatnya keberanian mereka dan cepatnya mereka dalam mengambil tindakan untuk berperang.

Di antara akhlak mulia mereka adalah kesederhanaan hidup ala badui dan tidak terkontaminasi polusi peradaban dan tipu dayanya. Akibat dari kesederhanaan ini, muncul sifat jujur, amanah, dan jauh dari penipuan dan pengkhianatan.

Akhlak mulia yang dimiliki masyarakat Arab, bersamaan dengan posisi geografis mereka yang strategis, menjadi salah satu alasan mengapa mereka dipilih untuk menerima risalah Islam. Meski sebagian akhlaknya masih berpotensi disalahgunakan, pada dasarnya sifat-sifat ini bermanfaat setelah diperbaiki. Itulah yang dilakukan oleh Islam.

***

Penulis: Fajar Rianto

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi:

Disarikan dari Kitab ar-Rahīq al-Makhtūm, karya Syekh Shafiyurrahmān al-Mubārakfūri dengan perubahan.

 

Catatan kaki:

[1] HR. Abu Dawud.

[2] QS. Al-Baqarah: 219.


Artikel asli: https://muslim.or.id/109892-potret-sosial-ekonomi-dan-akhlak-masyarakat-arab-sebelum-islam.html